Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berencana menjadikan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di Sekolah Dasar (SD) mulai tahun ajaran 2027/2028. Kebijakan ini disambut dengan antusias oleh banyak kalangan, terutama yang melihat pentingnya kemampuan bahasa Inggris di tengah arus globalisasi. Namun di sisi lain, muncul pula sejumlah pertanyaan mendasar tentang kesiapan sumber daya manusia, kesenjangan antarwilayah, serta posisi bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam sistem pendidikan nasional.

Tidak dapat dipungkiri, bahasa Inggris kini menjadi bahasa ekonomi, teknologi, dan komunikasi global. Penguasaan bahasa ini membuka akses yang luas terhadap pengetahuan, inovasi, dan peluang kerja internasional. Dalam konteks tersebut, memperkenalkan bahasa Inggris sejak SD merupakan langkah strategis untuk menyiapkan generasi muda yang adaptif dan kompetitif di era global.

Secara psikologis dan linguistik, usia anak SD memang ideal untuk mempelajari bahasa asing. Anak-anak pada rentang usia ini memiliki kemampuan imitasi dan penyerapan bunyi yang tinggi. Jika pembelajaran dilakukan melalui metode yang menyenangkan—misalnya lewat permainan, lagu, atau kegiatan interaktif—maka bahasa Inggris dapat menjadi sarana pembentukan rasa ingin tahu dan kemampuan komunikasi lintas budaya.

Meski tujuan kebijakan ini baik, tantangan implementasinya tidak sederhana. Ketersediaan guru yang kompeten di bidang bahasa Inggris masih menjadi persoalan di banyak daerah. Data menunjukkan bahwa sebagian besar guru SD bukan berlatar belakang pendidikan bahasa Inggris, sementara pelatihan pedagogis khusus untuk jenjang dasar masih terbatas.

Kondisi tersebut menimbulkan risiko bahwa pembelajaran bahasa Inggris di SD justru dilakukan secara tekstual dan tidak komunikatif, sekadar menekankan hafalan kosakata tanpa pemahaman kontekstual. Lebih jauh lagi, kesenjangan antara sekolah di perkotaan dan pedesaan berpotensi melebar karena faktor fasilitas, akses teknologi, dan ketersediaan materi ajar. Agar kebijakan ini tidak menjadi beban tambahan bagi sekolah, pemerintah perlu menyiapkan peta jalan pelaksanaan yang realistis dan bertahap—dimulai dari sekolah-sekolah yang telah memiliki kapasitas memadai, sambil memperkuat program peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan berbasis praktik.

Di tengah euforia penguatan bahasa asing, perlu diingat bahwa penguasaan bahasa Inggris tidak boleh menggerus kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Pengalaman negara-negara multibahasa menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa asing justru lebih kuat ketika anak memiliki fondasi bahasa ibu yang kokoh. Bahasa Indonesia harus tetap menjadi sarana utama dalam menumbuhkan nalar, karakter, dan kebangsaan. Sementara itu, bahasa daerah perlu dijaga sebagai kekayaan identitas dan warisan budaya. Dengan demikian, pengenalan bahasa Inggris sebaiknya diarahkan bukan untuk menggantikan, melainkan melengkapi ekosistem kebahasaan yang beragam di Indonesia.

Menjadikan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib di SD adalah langkah visioner, tetapi membutuhkan strategi implementasi yang cermat. Pemerintah perlu menghindari pendekatan seragam (“one size fits all”) dan memberi ruang bagi daerah untuk menyesuaikan berdasarkan kesiapan lokal. Dukungan anggaran, pelatihan guru, serta penyediaan bahan ajar kontekstual harus menjadi prioritas agar kebijakan ini tidak berhenti di tataran wacana.

Lebih dari itu, pembelajaran bahasa Inggris di SD seharusnya tidak dimaknai sekadar sebagai instrumen akademik, melainkan sebagai alat pengembangan kemampuan berpikir, berempati, dan berkomunikasi lintas budaya. Di sinilah pendidikan bahasa memiliki peran strategis—membangun jembatan antara dunia lokal dan global, antara identitas nasional dan keterbukaan internasional. Jika dirancang dan dijalankan dengan kebijakan yang inklusif, terukur, dan berbasis pada riset pendidikan, maka kebijakan ini dapat menjadi tonggak penting dalam modernisasi pendidikan Indonesia, bukan sekadar simbol partisipasi dalam arus globalisasi.***